Katri lahir di desa Trunuh, Klaten. Dia bungsu dari enam bersaudara. Lima kakaknya semuanya laki-laki, sehingga wajarlah Katri menjadi kesayangan keluarga. Suwasno, kakaknya yang paling tua aktif dalam organisasi kepemudaaan Pemoeda Rakjat. Dia punya mimpi besar, petani di kampungnya harus sejahtera. Karena itu dia membuka kelas baca tulis untuk tetangganya. Katri ikut membantu kakaknya. Suatu waktu Katri ditawari oleh Wasno untuk ikut Paduan Suara Lembah Merapi. Paduan suara ini dipimpin oleh seorang pemuda kaya bernama Agus, yang kelak menjadi suami Katri.
Awalnya pernikahan antara Katri dan Agus ditentang keluarga Katri. Pasalnya Agus sudah memiliki istri. Namun karena Katri telah berbadan dua, akhirnya mereka dinikahkan secara Islam mengikuti agama Agus. Kedua orang tua Katri menganut kepercayaan Kejawen, sedangkan kakak-kakaknya Katolik. Setelah menikah, Katri tidak lagi melanjutkan sekolahnya yang kala itu masih SMA. Sayangnya, sekitar lima bulan setelah menikah, di bulan Oktober 1965 kondisi di Klaten memanas. kantor partai tempat suaminya bernaung dibakar. Satu per satu kakaknya menghilang, disusul suaminya yang ikut menyingkir dijemput keluarganya. Tinggallah Karti bersama kakak keduanya Hartono yang tidak tergabung organisasi apapun bersama kedua orang tuanya. Malangnya, rumah Katri juga didatangi tentara. Katri yang sedang hamil 7 bulan, ditembak kepalanya. Beruntung dia tidak mati, peluru membus pipinya dan meremukkan rahangnya. Namun lidahnya masih utuh sehingga dia masih bisa berbicara meski dalam kesakitan.
Maka dimulailah perjalanan panjang Katri. Keluar dari RS Panti Rapih selepas perawatan lukanya dan kelahiran anaknya, Katri dijemput oleh tentara. Dia mengalami penyiksaan interogasi yang panjang, berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya. Entah mengapa Katri dinilai sebagai orang penting. Sempat di tahun 1968 dia dibebaskan, namun kemudian terciduk kembali setelah diam-diam dia menemui kakaknya, Wasno. Selain penjara, Katri juga pernah menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa. Katri pun sempat hamil karena dijadikan pelampiasan nafsu penjaga penjara di Jakarta. Selepas penahanannya yang panjang, hidup Katri sebagai eks tapol pun tidak bisa dibilang mudah. Namun Katri menjalaninya dengan setia, tanpa dendam, dan hanya berharap akan masa depan.
Di tengah pemberitaan pencatatan ulang sejarah yang akan dilakukan oleh pemerintah, novel Katri ini mengajak pembaca untuk tidak melupakan apa yang terjadi di masa lalu. Katri adalah saksi hidup seorang eks tapol yang mengalami hal di luar batas kemanusiaan. Novel semi-biografi ini bisa dikatakan menjadi memoar untuk mengenang para korban pembantaian "orang-orang kiri" tahun 1965 di Klaten. Ada banyak orang yang mengalami penyiksaan dan pembunuhan karena dianggap terlibat dengan PKI. Katri adalah salah satu diantaranya. Meski pada dasarnya dia sendiri tidak tahu apa yang dilakukan oleh suami dan kakak-kakaknya, tapi dia menanggung semuanya karena suami dan kakak-kakaknya melarikan diri. Sungguh membaca kisah Katri akan menitikkan air mata.
Novel ini butuh waktu 11 tahun untuk dituliskan, namun kisah Katri akan hidup selamanya.
Katri
Adeste Adipriyanti
264 halaman
Kepustakaan Populer Gramedia
Mei, 2025