Mayra kalang kabut membagi waktunya. Seharusnya dia mengikuti bimbel yang telah diatur oleh kakaknya. Tapi tugas dari tempat magangnya di Snoop mewajibkannya segera hadir di kantor. Setidaknya itu tersirat dari pesan yang dikirimkan oleh editornya, Rig. Mayra adalah ketua klub Matapena, kelompok jurnalistik di sekolahnya. Demi menyelamatkan klub-nya itu, dia harus segera merekrut anggota baru. Magang di Snoop adalah salah satu cara yang ditempuhnya. Dia berharap teman-temannya di sekolah bisa tertarik bergabung dengan Matapena jika tahu pemimpinnya adalah kontributor di koran Batavia Pos. Snoop sendiri pernah tenar di masanya. Namun era digitalisasi memang mampu menggerus kepopuleran Snoop.
Sayangnya, magang di Snoop justru membuat nilai-nilai Mayra di sekolah jadi berantakan. Kakaknya, Sonya, menyuruhnya untuk berhenti. Tapi Mayra malah membuat perjanjian rahasia dengan editornya agar semua rencananya bisa terwujud.
Awalnya saya kurang simpatik dengan karakter Mayra. Dia seperti seseorang yang kehilangan pegangan dan arah, yang bertindak apapun demi mewujudkan keinginannya. Dia tidak bisa memprioritaskan kewajibannya sebagai siswa, demi ambisinya sebagai seorang pemimpin klub. Namun seiring berjalannya cerita, gambaran karakter Mayra mulai menunjukkan alasan mengapa Mayra senekat itu mengejar ambisinya.
Lalu ada Rig, redaktur pelaksana di Snoop yang terjebak dengan masa lalunya. Kemarahan di dalam dirinya, situasi-situasi yang dihadapinya, membuat sosok Rig menjadi dewasa. Saya suka interaksinya dengan Mayra. Meski usia mereka tidak terpaut jauh, Rig bisa tampil sebagai sosok yang mengayomi.
Kisah di dalam novel ini tidak hanya berputar di persoalan jurnalistik saja, tapi lebih kepada penerimaan diri, menghadapi luka, meminimalisir beban hidup dan juga menjalani pilihan yang telah diambil.